Senin, 22 Maret 2010
Puisi Irvan Mulyadie
KABAR WAKTU
Karya : Irvan Mulyadie
Adalah cangkir porselin
Berlukiskan seorang gadis
Pemetik teh di senja hari
Dengan dada setengah terbuka
Serta baris-baris puisi
Yang tertulis daripadanya, mengabarkan :
Sang usia kan berhenti
Tepat saat aku reguk kemenangan
Di suatu pertempuran dalam hujan
Ketika itu, lonceng-lonceng sedingin es
Beku dan tanpa suara
Kota yang jahat
Dimana rumah-rumah ibadah
Menjadi sarang para penghasut
Yang licin, sejuta jarum
menyerangku dari belakang
Dengan sajak kematian
Tapi tak perlu bersedih, kehangatan
Dalam kubur menantiku dengan riang
Seperti cacing dan belatung
Yang segera menyempurnakan
Perjalanan sepanjang hayat :
Kepada tanah dan kesejatian
Aku kembali
Selasa, 02 Maret 2010
Puisi Bode Riswandi
Jika dunia ini begitu cepat berputar, katamu
Aku mampu membenarkan ucapanmu
Kuhitung angka-angka yang melekat di usia
Kucabut seratus uban yang tumbuh di kepala
Aku ajak bicara segala mimpi yang membuat
Diri serasa muda. Semuanya selalu berujung
Di warna senja
Jika senja sering disekap penyair muda
Dalam puisi cinta juga balada, katamu
Aku mampu membuktikan pernyataan itu
Tanpa nafsu atau syahwat yang menggebu
Sebab aku bukanlah penyair yang mati muda
Yang mengharap hidup seribu tahun lamanya
Ketika tangis jadi bahasa yang sulit diterka
Aku adalah seseorang yang tak boleh lelah
Mencium aroma lekuk tubuhmu dan menanti
Pernyataan baru dari mulutmu. Jika malam
Yang sampai di ranjang jadi debu karena ditempa
Sungai eranganmu, seketika itu kau dan aku
Jadi orang lain dengan kecemasan masing-masing
Menunggu antara Gembira atau putus asakah
Yang selalu datang dengan tergesa
2009
Letupan-letupan
Ada yang luput kucium dari tubuhmu;
Sisa bising kendaraan dan jejak para pejalan
Mereka jadi embun yang nempel di daun
Jadi kerikil yang terlempar dari alam lain
Ada yang luput kusapu dari tubuhmu;
Bulir keringat dan letupan-letupan isyarat
Mereka tumbuh jadi bahasa tanpa tabiat
Walau seteru kita berjalan kian hebat
Ada yang luput kubelai dari tubuhmu;
Semacam rambut serta pekat kabut
Tubuhku terlempar jauh jadi musyafir
Yang tak cukup nyali masuki hutan tafsir
Ada yang luput kubasuh dari tubuhmu;
Luka dan debu kota yang menggaris di lehermu
Pintu-pintu toko terkatup, jentik embun meletup
Dan sepi membiarkan dirimu sejenak hidup
Ketika tak ada lagi yang luput dari perburuan;
Aku cukup memandangmu dalam remang
Merasakan sunyi yang pecah ke dinding dan tiang
Menanti jejak mencekik lehermu lebih tak karuan
Ketika tak ada lagi yang luput dari perburuan;
Aku telah cukup nyali merambah hutan tafsir
Dirimu akan tinggal sendirian, atau tubuhku
Yang diburu bergantian
2009
Di Vietnam Camp
Banyak yang bercerita lewat angin, semacam dingin
Atau isyarat yang licin. Sepi serupa kembang muda
Yang tumbuh di ranting rahasia. Kuncup ia satu-satu
Lalu jatuh ke dasar tanah. Musim bisa cepat berganti
Di sini, tetapi kabut lebih cepat bertelur di barak ini
Jadi bayangan yang remah di rumput, atau jadi rindu
Yang dipahat di bangku katedral yang berlumut
Aku tak dapat melihatmu melambai dari jendela barak
Atau membaca bayanganmu dari serambi dan geladak
Aku cukup mengimbangi isyarat lain, membayangkan
Sebutir mata sipit dari segala arah membalut teriakan
Yang memanggil-manggil dari lubuk sejarah
Banyak yang bernyanyi di sini, semacam bunyi-bunyian
Juga siulan. Gerimis yang tiba kebetulan, serta bau aspal
Yang mengerak di jalan jadi bagian riwayat kemalangan
Tahun-tahun banyak terlewatkan. Hujan dan angin runtuh
Saling bersahutan. Kesepian tumbuh di plafon, senyapnya
Merambat pada akar pohon. Aku mendengar seruan pelesit
Di balik daun kamboja, suara-suara sepi yang dipantulkan
Angin di ujung gapura. Siapakah kamu?
Siapakah kamu? Aku bertanya pada dinding waktu
Pada keloneng genta yang ditarik seorang pendeta
Pada katedral dan barak-barak yang renta. Tak satu pun
Jawaban datang kecuali gema suaraku yang terdengar
Nyaring berulang-ulang, kecuali bayang wajah-wajah
Pendatang dengan dada dan kakinya yang telanjang
Banyak yang mengintai di sini, angka-angka di nisan
Adalah misteri tersendiri. Dan bulu-bulu ilalang yang
Terhempas ke bumi adalah gema paling keras di sini
Aku hanya menunggumu datang menunjuk satu arah
Jalan pulang
2009
Puisi Yusran Arifin
SAJAK SENDIRI
kembali aku menyisir jalan sunyi
mengelak dari rayuan pesta,dari jebakan cinta palsu
dari gairah matamu yang menawarkan bulan madu
ke langit terjauh aku terbangkan sukmaku
ke planet-planet gelap paling rahasia
ke dalam diri, ke rumah-rumah abadi
tasikmalaya,2004
PENGANTIN CAHAYA
kubakar hidupku dengan dzikir
setelah melewati sia-sia pengembaraan
seperti adam dan hawa yang resah
dalam perpisahan tergelapnya
kutuk siapa paling magrib
yang melempar sukmaku menjelma debu
sihir siapa paling masrik
yang menyulap hidup menjelma gurun
kubakar hidupku dengan dzikir
seperti halaj dan rummi
meninggalkan bumi yang sekarat dan sepi
melesat ke arasy tertinggi
jagat kulipat-lipat dalam purnama
ayat-ayat batu kucairkan dalam ruh
adalah peta paling keramat
bagi usia menuju kiblat
seperti halaj dan rummi
seperti adam dan hawa yang direstui
aku mabuk kepayang di ranjang ini
dalam hujan kesturi
Tasikmalaya, 2004
IJINKAN
-kepada NL
ijinkan aku jadi hurufr dalam sajak-sajakmu
seperti bening air mengalir ke sungai-sungai
ke parit-parit paling sakit
ke tanah-tanah jiwa paling resah
bila kemarau
ijinkan aku jadi huruf dalam sajak-sajakmu
seperti engkau menjadi ruh dalam hidupku
kasur bagi mimpi terpanjangku
sawah bagi padi-padi harapan
yang selalu akan kubajak dengan cinta
Tasikmalaya,2004
Sarabunis Mubarok
1
Sajakku,
Lebih muda dari bayi yang pemiliknya masih kasmaran
Lebih tua dari umur yang tak bernyali menghadapi mati
Sajakku,
Lebih cantik dari bidadari yang setiap pagi
Melelahkan laki-laki
Lebih buruk dari syetan yang bersetubuh di setiap lisan
Sajakku,
Lebih lembut dari bulu-bulu di setiap tubuh perempuan
Lebih keras dari batu karang di setiap hati manusia
Sajakku,
Lebih bijaksana dan lebih tak tahu diri
Lebih toleran dan lebih diktator
Lebih banyak hingga tak pernah aku tuliskan
Ataupun aku bisikkan, dalam hati kecilku sekalipun
2
Kuingat sebuah sajak yang belum selesai kutuliskan
Kulupakan ketika aku tak sanggup menyebutnya sajak
3
Berhari-hari kutulis sajak cinta
Bertahun-tahun ku tak memahaminya
Berhari-hari aku mencintai sajak
Bertahun-tahun aku dimusuhi sajak
Sehari aku tak bersajak
Aku habis dimakan sajak-sajakku
4
Kusulam seuntai sajak di kerudungmu
Dan dunia pun memujamu
Lalu kaupasangkan sajak itu di rambutmu
Dan dunia menyatakan kiamat kepadamu
5
Terakhir sajakku sebuah mimpi
Sekarang mimpiku sebuah sajak
Kutulis sajak tentang tidurku
Dalam tidur aku bersajak
6
Dan angin menoleh sajakku yang tak bernyali
Lalu diapungkan ke udara
Sampai sajakku dikalahkan keangkuhan
Dan kuhakimi sajakku dalam hati
Agar angin tak dapat meniru sajak-sajakku
7
Kuhitung janjiku dalam sajak
Esoknya aku dipenjara karena mengkhianatinya
8
Setelah sembahyang kutulis menjadi sajak
Aku tak pernah bisa khusyu sembahyang
Setelah aku khusyu bersajak
Aku jadi tak mau sembahyang
Setelah sajakku disembahyangi orang
Aku baru belajar sembahyang
9
Ketika sajakku seperti puteri malu
Semua putri malu bersajak
Karena malu-ku adalah sajak
Yang memalukan puteri-puteri
10
Ketika sajakku merontokkan gigi seorang presiden
Dan menjelma partai baru yang malu-malu
Para liliput mengadakan upacara penurunan bendera
Tepat di depan hidungku
11
Kucuci sajakku dengan air mata
Kutemukan air mataku meluap
Ke surat kabar, radio, televisi
Sampai ke panggung sorga dan neraka
Akhirnya sajakku tenggelam di air mata mimpi
Mimpi yang sering memata-mataiku
12
Kutitipkan sajakku dalam sejuknya senyuman
Supaya mengembara di kedalaman dada
Menuju semak cintamu yang tak terjamah
Sampai sajakku jadi mahar kematiam
13
Sajakku adalah dering telepon
Tak bernyali dan tak tahu diri
14
Dalam reruntuhan sajak Tuhan dan Syetan
Aku tak dapat mengelak untuk memakan keduanya
15
Sajakku pun usang
Setelah berkencan di surat kabar
Dengan rayuan yang mematikan
16
Ketika sajakku diam, diamku emas
Ketika sajakku emas, diamku bencana
17
Sajak cintaku adalah ciuman untuk kekasih
Sajak ciuman adalah cintaku yang tak berpamrih
18
Sajakku masih perawan
Tak tersentuh surat kabar dan honor murahan
Sajakku masih perawan
Tak terjamah antologi atau buku puisi
Sajakku masih perawan
Tak kubacakan karena belum kuciptakan
19
Ketika kutemukan sajakku dalam mimpi
Hilanglah mimpiku dalam sajak
20
Sajakku kalah berkhotbah
Sajakku enggan berkencan
Sajakku hilang, tepuk tangan!
21
Nafasku adalah sajak
Oleh karena itu aku hidup
22
Sajakku adalah anggur
Sajakku adalah candu
Dan sajakku akan memabukanmu
23
Kalau aku egois
Sajakku lebih egois
24
Di buku harianmu
Sajakku menjadi bintang tamu
25
Seperti itulah aku menjegal sajak dengan koma
Seperti itu pula aku membunuh sajak dengan titik
26
Aku menyusukan sajakku kepada ibu
Lalu tumbuh dan celakalah aku
Ketika sajakku mendamprat ibu
27
Di tahi lalatmu aku sempat menulis sajak
Esoknya kaulahirkan bayi dari kata-kataku
28
Dan hujan pun menumbuhkan sajakku di kepala
Dan angin pun mengabarkannya kepada tanah
Dan aku pun terkubur kata-kataku
29
Menyongsong hari esok dengan sajak
Membunuh hari kemarin pun dengan sajak
Lalu hari ini aku tak bersajak
30
Sajakku sebatang rokok
Dimakan pangkalnya habis ujungnya
1999
Puisi Nazaruddin Azhar
Kanak-kanak abadi dengan sihir di diam matamu.
Aku tak dari kerajaan manapun. Di kepalaku
hanya ada usia tua. Mahkota yang perlahan tumbuh
di antara sisa uban yang rapuh. Sungguh
tak bisa kujelaskan. Di denyut urat kaki
yang kian lemah ini, masih ada semacam perayaan
untuk apa yang seharusnya kulupakan.
Tanah-tanah kebebasan di mana kuda-kuda putih
meloncat ke perdu malam, bau arpus di uap humus,
kelontang genta di kejauhan. Sedang nyanyian
yang menempuh bahagiaku dilantunkan seseorang
yang sembunyi di antara rimbun kesedihan.
O, Kekasih yang berdiam di setiap rambu
keterluntaanku. Kubayangkan pelukan penghabiskan
akan menghanguskanku. Kutuliskan cemburuku
di tiap lembar daun pintu yang kuketuk
malam demi malam. Menceburkan jasad penyerahan
pada cengkram ganasmu. Tapi kesunyian inikah
yang kaumaksud dengan rindu?
Sebagai kekasih angin pernah kucumbu kehendak bebas
yang menawanku. Dibelenggu kebahagiaan
di balik rumpun mawar yang kelak layu.
Kata-kata yang tak lagi mencemaskan.
Bayangan kelabu yang disepuh keemasan.
Cinta yang tak lagi menggetarkan –
O, manusia bodoh yang sembunyi
ke balik jubah kepalsuan!
Mengapa bangga atas kemabukan yang semu?
2005
percintaan ini
Kita saling memandangkan kehampaan
seperti dua seteru
yang kehilangan sebab pertikaian.
Meski pada akhirnya kita tetap tak bisa
saling memahami, toh tak ada alasan lagi
untuk saling meninggalkan.
Kau menjadi karibku. Seperti arang sumbu
pada genangan lilin panas, kita tak pernah bisa membuang
perasaan yang pernah terbakar itu, yang menjadikan
api penerang di sisa malam terasa kudus.
Percintaan ini tak mengulang apapun.
Ketika cermin beriak dan sebuah ranjang dirapikan,
kita akan tetap tak mengerti
kenapa hasrat selalu terasa lebih suci
di luar segala kenyataan
2004
sebelum mimpi dikekalkan
Seberapa jauh jarak menepikan suara kita
dari dua puncak gunung tempat batu-batu berdentang
pada nyala kesunyian dan goa-goa mengendapkan
isyarat sulur-sulur hitam?
Lembah telah menjadi danau.
Sepasang rakit kosong dan riak seribu petang
mengembarakan dongeng sebelum mimpi dikekalkan.
Sedang usia telah melepuhkan tubuh kita,
saat cuaca memadat pada setumpuk almanak
dan seberkas tapak nyawa tertinggal
di kalang sebuah pertaruhan!
2003
dan engkau menyentuhku
Seserpih penanggalan terapung jauh,
jadi sehelai tikar yang luluh.
Membawa sujud ke ladang-ladang.
Ke tapak angin di pucuk-pucuk hanjuang
Di risik bambu haur saat sepenggalah matahari,
lirik itu berpendar pada tiap tetes sunyi.
Mungkin puisi. Atau pupuh
yang terekam oleh sebuah ilusi
Dan engkau menyentuhku.
Pada tapak pacul itu tertahan,
sebuah riwayat
yang kelak tumbuh dan merimbun
2005
Puisi Saeful Badar
Tuan Cahaya Bulan, menyusuplah ke saku bajuku
Hitunglah harga diriku jangan kauhitung harga pakaianku
Buatlah tubuhku berkilau seperti sosokmu
Tuan Cahaya Bulan, petikkan untukku sekuntum bintang
Bawalah padaku, semat di keningku
Aku yang mencintai sunyi, buatlah gemerlap bagi bumi
Hingga bagiku sendiri, tak ada yang lebih berarti
Dari kesetiaan dan istiqomah di jalan ilahi
2004
*) Judul mengadopsi salah satu lagu Beatles, Mr Moonlight
SEORANG IBU BERNAMA INDONESIA
Rahimmu tak lagi menyediakan alamat
Bagi anak-anak yang akan kembali pulang
Dan minta dilahirkan kembali
Tapi anak-anakmu memang tak berniat pulang
Tak berniat minta dilahirkan kembali Lewat rahimmu yang suci
Mereka cuma singgah dan merayumu
Lantas memperkosa dan merampokmu
Sebelum akhirnya meledakkan bom
Di pelataran rumahmu sendiri
2004
SEBUAH PERINGATAN
Kuberi kau jarak Antara kenangan dan cinta
Antara maut dan syahwat
Kita meronta
Menerkam badai
Diterkam badai
Antara cinta dan syahwat
Mendekam harapan dan khianat
Kitapun gemetar
***
Puisi Acep Zamzam Noor
Musim panas membakar kata-kataku
Menjadi abu dan lelatu
Lalu menyeretku ke wilayah tak dikenal
Dunia tak terjangkau lidahku
Teriakanku lenyap dalam regukan besar waktu
Seperti embun yang terserap cahaya pagi
Aku ingin memahami isyarat ini:
Kegelapan telah mengiringi langkahku
Sedang mataku perih setiap mengenangkanmu
Adakah yang salah dari penglihatanku yang nanar
Sejak aku sembunyi di balik kabut musim dingin
Dan tumbuh menjadi si pembenci cahaya
Dunia di luar kata-kataku, Zlata
Dan nyanyianku tak menyuarakan apapun
Tapi airmataku terus mengalir padamu
Menjenguk puing-puing serta kuburan baru
Di bukit kotamu. Airmataku terus mengalir
Dari sanalah puisi akan memancarkan maknanya
***
DI TUBUH-TUBUH TAK KUKENAL
Di tubuh-tubuh tak kukenal
Kutanam benihku. Di ladang-ladang kering
Bukit-bukit gersang, padang-padang kerontang
Jalan panjang keterluntaan. Telah kutanam kesepianku
Kutabur di rumah-rumah bordil, gang-gang becek
Gerbong-gerbong tak bertuan, masjid, gereja dan candi
Juga lembaran kitab-kitab suci:
Aku mencium bau anyir, mendengar tangis bayi
Kelaparan. Kesepian di mana-mana
Di tubuh-tubuh tak bernama
Kualirkan darahku. Di rahim-rahim benua
Perut-perut samudera, gelombang pasang, badai dan topan
Kegelisahan yang membentang. Kukekalkan
Aku jadi buta, Anne, jadi batu
Hatimu tanpa alamat. Masjid hanya untuk para pelayat
***
TERLALU BANYAK
Terlalu banyak minum, terlalu banyak menelan pil tidur
Bosan bermimpi akhirnya aku tersedu:
Masihkah masjid alamatmu? Aku tak tahu. Tak tahu
Sejumlah musim telah bergulir, tahun demi tahun
Telah berakhir. Dan kembali mengalir
Memutar abad dan siklus nasib. Bergolak
Dan menyala-nyala. Sambil tersedu (mungkin tertawa)
Aku mengetuki pintu-pintu, memasuki penjara-penjara
Memecahkan etalase toko-toko
Mencarimu. Sepanjang jalan-jalan ibukota, sepanjang
Peradaban dan tumpukan sampah. Dunia
Hanya salak anjing, nyaring dalam batin
Malam seakan abadi. Aku tak tahu. Tak tahu
Terlalu banyak membaca, terlalu banyak
Bertanya. Buku demi buku merabunkan mataku
Mengirim sukmaku ke hutan-hutan, mendorong kelaminku
Ke tepi sunyi. Mendaki perut, menyeberangi paha demi paha
Melelapkan waktu. Sejarah hanya kelu
Hanya gemuruh dan gelegar mesiu. Aku tak tahu. Tak tahu
Seratus peperangan dan bencana, seribu maklumat dan fatwa
Kalimat-kalimat prosais dan berbunga. Sejuta pedang
Dan moncong senapan. Tak tahu:
Masihkah para pelayat tersedu di altarmu?
***